30 April 2009
Suatu Pagi Di Gereja
Ketika ia sampai ke depan pintu, ia melepas topinya dan memberi hormat pada usher (penerima tamu). Rambutnya panjang, kotor dan kusut. Usher itu berkata pada orang tua itu, “Maaf, tetapi Anda tak dapat masuk. Anda akan mengalihkan perhatian jemaat dan kami tidak menginginkan ada orang yang mengganggu kebaktian kami.”
Orang tua itu memandangnya dengan wajah bertanya-tanya, ia memakai kembali topinya lalu ia meninggalkan gereja. Ia merasa sedih, ia ingin mendengar lagu-lagu pujian bagi Tuhan dan anak-anak menyanyikan lagu-lagu indah. Ia membawa dalam sakunya sebuah Alkitab yang telah tua dan usang dan ingin mendengar pendeta mengutip ayat-ayat yang banyak telah ia garisbawahi. Ia menundukkan kepala dan berjalan menuruni tangga gereja yang besar itu.
Ia duduk di luar halaman gereja dengan harapan masih bisa mendengar suara nyanyian gerejawi melalui pintu yang telah ditutup. Ah, betapa inginnya ia berada di antara mereka.
Beberapa menitpun berlalu ketika seorang muda datang dari belakang dan duduk di dekatnya. Ia bertanya apa yang orang tua itu sedang lakukan. Ia menjawab, “Saya ingin ke gereja hari ini, tetapi saya kumuh dan pakaian saya telah tua. Mereka khawatir kalau saya mengganggu kebaktian mereka. Oh ya, nama saya George.”
Kedua orang itu bersalaman dan George melihat orang muda itu berambut panjang seperti dia, mengenakan jubah. Ia memakai sandal yang telah berdebu dan kotor. Orang itu menepukkan tangannya ke bahu George dan berkata, “Halo George, jangan merasa terhina karena mereka melarangmu masuk. NamaKu Yesus, Aku juga telah berusaha untuk masuk ke gereja itu selama bertahun-tahun, dan mereka tidak membolehkanKu.”
"Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku." (Matius 25:45)
From Tidbits Daily Devotional
Perubahan Itu Menyakitkan
100% -- Saya kerjakan
"Yang seorang diberikannya
Bila kita sebagai umat Kristiani menggunakan kemampuan yang terpendam di dalam diri kita dan mengamalkan semua talenta dan karunia yang telah Tuhan anugerahkan pada kita bagi Tuhan dan sesama, betapa besar perubahan yang akan terjadi di dunia ini. Tuhan tidak menghendaki setiap kita gagal. Tuhan menghendaki kita menjadi terang dan garam dunia untuk orang-orang di sekitar kita.
Elbert Hubbard, seorang yang sangat sukses, menjelaskan orang yang sukses adalah mereka yang mencoba, bukan mengeluh; yang bekerja, bukan mangkir; yang bertanggung jawab, bukan mengelak; yang mau menanggung beban, bukan yang berdiri diam; yang menatap ke depan; yang memberi nasehat.
Charles Kingsley berkata: "Orang yang berhasil hidupnya adalah mereka yang selalu ceria dan berpengharapan, yang melakukan pekerjaannya dengan senyum di wajahnya, bersikap sama dalam menghadapi kesempatan dan kesempitan."
Jenjang keberhasilan adalah:
0% - Saya tidak mau
10% - Saya tidak dapat;
20% - Saya tidak tahu harus bagaimana;
30% - Saya harap saya bisa;
40% - Apakah ini?
50% - Saya pikir saya mungkin bisa;
60% - Saya mungkin bisa;
70% - Saya pikir saya dapat;
80% - Saya dapat;
90% - Saya mau;
100% - Saya kerjakan;
Orang bilang bahwa untuk sukses 10% adalah gagasan dan 90% usaha. Bersama memberi 100% yaitu "Saya kerjakan". Kita mengeluh bahwa kita tidak mempunyai talenta dan kesempatan pada saat dimana ketekunan dan konsentrasi yang diperlukan.
"Gunakan talenta yang Anda miliki; hutan akan sepi bila tidak ada burung yang bernyanyi selain yang nyayiannya terbaik," kata Henry Van Dyke. Burung-burung tidak kuatir tentang siapa yang nanyiannya terbaik; mereka lakukan apa yang wajar mereka lakukan. Daripada membanding-bandingkan dengan talenta orang lain, marilah kita berterima kasih pada Tuhan untuk apapun yang kita miliki dan menggunakannya, karena jika tidak kita akan menjadi orang yang tak berdaya.
Patricia Erwin Nordman, Walking through the Darkness